Indonesian Political, Business & Finance News

Hasanuddin menyatakan, pernyataan PB HMI tersebut bukan merupakan pernyataan politik yang diarahkan untuk memberi dukungan kepa

Hasanuddin menyatakan, pernyataan PB HMI tersebut bukan merupakan pernyataan politik yang diarahkan untuk memberi dukungan kepada Capres tertentu terutama kepada Megawati. "Kami hanya meluruskan bahwa dalam Islam tidak ada dikotomi pria dan wanita," katanya. Sementara itu, Pelaksana Harian Ketua Umum PBNU KH Masdar Faried Mas'udi menegaskan, NU berpegang pada keputusan Alim Ulama NU tahun 1997 di Lombok (NTB) yang kemudian dikukuhkan dalam Muktamar NU di Kediri (Jawa Timur) bahwa kepemimpinan seseorang tidak ditentukan berdasarkan warna kulit, suku, asal daerah dan gender. "Yang terpenting, seorang pemimpin itu memiliki akseptabilitas dan memiliki kapabilitas (kemampuan)," katanya. Masdar mengatakan, siapapun pemimpin itu, yang terpenting adalah memiliki amanah dan komitmen trhadap kepentingan rakyatnya. Mengenai adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama NU berkaitan dengan hal ini, Masdar menyatakan, pihaknya akan melakukan silaturahmi dengan mereka yang mempunyai perbedaan pendapat agar menjaga masalah khilafiah ini tidak menajam. Dengan demikian, perbedaan ini tidak akan menimbulkan pertentangan yang sebenarnya tidak perlu. "Perbedaan itu biasa dan masalah khilafiah ini pasti akan ada titik temu. Tidak usah diundang atau didatangi sebaiknya silaturahmi dengan mereka," katanya. Sementara itu, Ketua PBNU (non aktif) Andi Djamaro menilai, keluarnya fatwa ulama Jawa Timur yang tidak memperbolehkan pemimpin wanita, momentumnya tidak tepat. Aapalagi saat ini ada wanita yang menjadi presiden. Andi Djamaro memperkirakan, fatwa itu dikeluarkan karena adanya kepentingan politik menjelang pemilihan presiden 5 Juli 2004. "Yang memiliki kepentingan politik pasti Capres pria," kata Djamaro. Djamaro yang menjadi tim sukses Mega-Hasyim mengatakan, fatwa ulama itu kemungkinan akan berubah. "Tinggal siapa yang datang ke kiai-kiai itu," katanya. (T/S023/5:32/T001/B) (T.S023/B/T001/T001) 04-06-2004 18:

GetANT 1.20 -- JUN 4, 2004 18:13:31 JP/NASIONAL

HASYIM MUZADI: JANGAN DENGARKAN FATWAH KIAI NU

Palembang, 4/6 (ANTARA) - Ketua PBNU non aktif, Hasyim Muzadi mengatakan agar seluruh rakyat Indonesia jangan mendengarkan fatwa kiai NU yang mengharamkan presiden wanita, karena siapapun presidennya yang terpenting mampu menegakkan amal mahruf nahi munkar. "Jika presiden wanita bisa melakukan hal tersebut kenapa diharamkan menjadi presiden, karena belum tentu kaum adam bisa menegakkan amal makruf nahi munkar itu," katanya seusai kampanye di lapangan parkir Stadion Bumi Sriwijaya, Palembang, Jumat. Agama Islam hanya mengharamkan jika seorang wanita menjadi imam ketika ada kaum pria yang layak untuk dijadikan "khalifah", sedangkan kondisi sekarang semua calon presiden yang ada belum tentu bisa membawa negara ini ke kondisi yang stabil. Jika itu yang terjadi agama tidak melarang seorang kaum hawa untuk duduk dikursi pemerintahan, selagi dia mampu mengemban tugas dan tidak menyalahgunakan kedudukannya. Menurut dia, fatwa kiai NU tersebut terkesan direkayasa atau ada permainan politik untuk menjatuhkan Megawati Soekarnoputri, karena fatwa itu dihembuskan saat kampanye pilpres sedang berlangsung. Jika diharamkan, kenapa kiai tersebut tidak mengatakannya dari dulu dan mengapa ketika Mega menjadi presiden mereka hanya diam saja, serta menyatakan mendukung kabinet putri proklamator tersebut. Selain itu, para kiai tersebut selama ini selalu menerima bantuan dana dari Mega untuk pembangunan dan meningkatkan mutu pendidikan di pondok pesantren yang mereka kelola. "Jika benar kiai NU mengeluarkan fatwah itu maka semua bantuan yang mereka terima adalah "haram" dan mereka "memakan" serta menggunakan uang yang dilaknat Allah," tegasnya. Jadi kesimpulannya pernyataan para kiai NU tersebut hanya akan merugikan mereka sendiri, karena masyarakat akan menganggap para ulama itu haus kekuasaan dan mementingkan diri sendiri atau kelompok. Kiai sepuh NU mengeluarkan fatwa mengharamkan Ummat Islam memilih calon presiden wanita, yaitu Megawati Soekarnoputri. KH. Abdullah Faqih, pengasuh Ponpes Langitan, Tuban, Jawa Timur, Kamis mengatakan, berdasarkan kajian Syariat, Islam melarang memilih pemimpin wanita, kecuali dalam kondisi darurat. Pernyataan tersebut disampaikan para kiai NU ketika mengadakan pertemuan dengan cawapres Partai Golkar Salahudin Wahid (Gus Solah). Para kiyai yang turut hadir antara lain KH. Chotib Umar (Jember), KH.Sholeh Kasim (Siduarjo) dan KH. Chamid Abdul Manan (Madura). (U.PK-YA/B/PLB1/0

GetANT 1.20 -- JUN 4, 2004 17:42:30 JP/NASIONAL

KEPEMIMPINAN TIDAK DITENTUKAN OLEH GENDER

Jakarta, 4/6 (ANTARA) - Kepemimpinan seseorang tidak ditentukan bersadarkan warna kulit, suku, asal daerah dan gender, tetapi yang penting dia memiliki akseptabilitas dan kapabelitas atau berkemampuan. "Siapapun dia, sebagai pemimpin harus memiliki sifat amanah dan komitmen terhadap kepentingan rakyatnya," kata pelaksana harian Ketua Umum PBNU, KH Masdar Mas'udi di Jakarta, Jumat. Ia berpendapat, NU tetap berpegang teguh pada keputusan Alim Ulama NU 1997 di Lombok, yang kemudian keputusan tersebut dikukuhkan di muktamar NU di Kediri, Jawa Timur. Pendapat tersebut dikemukakan pelaksana harian Ketua Umum PBNU menanggapi adanya Fatwa Ulama NU yang dikeluarkan di Pasuruan, Jawa Timur sebelumnya. Fatwa ulama itu mengharamkan wanita menjadi pemimpin.

Soal perbedaan pendapat di lingkungan NU, khususnya tentang kepemimpinan wanita, Masdar berjanji akan melakukan silaturahmi dengan para ulama yang berbeda pendapat tadi, agar menjaga masalah khilafiyah ini tidak menajam sehingga menimbulkan pertentangan yang tidak perlu. "Perbedaan pendapat itu biasa, dan masalah khilafiyah ini pasti akan ada titik temunya. Karena itu tak usah diundang, saya akan bersilaturahmi dengan mereka," katanya. Sementara itu Ketua PBNU non-aktif, Andi Djamaro berpendapat, keluarnya fatwa ulama Jawa Timur yang tidak memperbolehkan pemimpin wanita itu, waktunya tidak tepat. (F.A006/SU3/B/Z002) (F.SU3/B/Z002/Z002) 04-06-2004 17:

GetANT 1.20 -- JUN 4, 2004 17:19:33 JP/NASIONAL

FATWA HARAM PRESIDEN WANITA DISESALKAN

Jakarta, 4/6 (ANTARA) - Ketua PBNU Drs Ahmad Bagdja menyesalkan adanya sejumlah ulama NU yang mengeluarkan fatwa mengharamkan memilih presiden wanita, karena persoalan tersebut tidak sejalan dengan hasil munas alim ulama NU dan sudah menjadikan kaidah agama untuk muatan politik. "Kenapa baru sekarang mereka bicara begitu, sedangkan Megawati sudah menjadi presiden sejak tiga tahun lalu," kata Ahmad Bagja di Jakarta, Jumat menanggapi fatwa delapan NU di Jawa Timur. Ia menyatakan heran karena NU sebagai organisasi tidak boleh dukung mendukung soal capres, tetapi mengapa para ulama malah memakai kaidah agama. "Sedangkan masalah kepemimpinan wanita itu di kalangan ulama sendiri masih ikhtilaf (berbeda pendapat-red)," tambahnya. Dalam masalah kepemimpinan wanita, di NU sendiri sebagai sebuah organisasi, menggunakan rujukan hasil munas alim ulama NU tahun 1997 di Nusa Tenggara Barat. Dalam forum tersebut antara lain diputuskan soal peran sosial wanita termasuk di dalamnya adalah masalah jabatan-jabatan publik. Dikatakan bahwa peran sosial wanita sama dengan pria, sehingga seorang wanita boleh memegang jabatan-jabatan sosial atau publik sepanjang tidak bertentangan dengan kodrati wanita, seperti hamil, melahirkan dan menyusui. Wanita yang memegang jabatan itu dipersyaratkan harus cakap (punya kemampuan) dan terampil pada jabatan publik. Sementara itu Rois Suriah PBNU KH Agil Siradj mengatakan, fatwa sejumlah kiai khos di Pasuruan, Jatim itu bertentangan dengan hasil Munas alim ulama NU di Lombok, 20 Nopember 1997 yang menetapkan, boleh-boleh saja wanita jadi presiden. Ia menilai, fatwa tersebut sangat politiking, tujuannya jelas untuk menjegal Mega sehingga sangat merugikan NU yang selama ini dikenal moderat, adil dan obyektif. Kenapa Mega dipersoalkan, sementara Gus Dur sendiri gandeng Marwah Daud Ibrahim, tidak ada yang ngomong di koran, ucapnya. "Saya yakin, fatwa ini tidak punya pengaruh terhadap pencalonan Mega sebagai presiden. Kita minta semua menahan diri, jangan karena kursi atau kekuasaan, umat yang tak berdosa dikorbankan dengan menggunakan fatwa agama," kata Agil Siradj. Pendapat senada disampaikan Ketua PBNU non aktif yang kini jadi anggota tim sukses Mega, Andi Djamaro dan Ketua PBNU Ahmad Bagja. "Fatwa itu tak punya arti apa-apa, karena pendukung Mega-Hasyim paham betul akan hal itu, apalagi hasil Munas alim ulama NU di Lombok 1997 membolehkan pemimpin perempuan. Fatwa kiai di Pasuruan tak bisa menganulir keputusan Munas alim ulama di Lombok," tegas Djamaro. Kiai Agil menjelaskan secara kronologis lahirnya keputusan Munas alim ulama NU di Lombok. Dikatakan, keputusannya diambil dalam rapat pleno yang dipimpin KH Ma'ruf Amin. Waktu pembahasan, timnya diketuai KH Cholil Bisri.

"Sekretarisnya saya, baik pada waktu rapat pleno maupun rapat tim pembahas. Anggotanya, antara lain KH Yusuf Muhammad dan KH Nur Iskandar Albarsany. Jadi, saya tahu persis sejarahnya. Keputusannya sendiri No 004/Munas/11/1997," kata Kiai Agil Siradj. (F.A006/SU3/B/Z002) (F.SU3/B/Z002/Z002) 04-06-2004 16:

GetANT 1.20 -- JUN 4, 2004 16:45:26 JP/NATIONAL NEWS

INDON PRESIDENT DURING CAMPAIGN STEERS CLEAR OF EDICT FORBIDDING MOSLEMS TO VOTE FOR FEMALE CANDIDATE

Jakarta, June 4 (ANTARA) - Indonesian President Megawati Soekarnoputri, during her campaign in the South Sumatra provincial capital of Palembang on Friday did not touch on the edict issued recently by ulemas of the Nahdlatul Ulama (NU) in East Java province forbidding Moslems to vote for a female candidate. Megawati, who is seeking a second term in office and is the only female candidate running in the July 5 presidential election, instead called on the people to vote with their conscience. Twelve ulemas from the Nation's Awakening Party (PKB), during a meeting at the Raudratul Ulum Islamic boarding school in Pasuruan, East Java, on Thursday issued an edict forbidding Moslems to vote for a female president. Among them were the meeting's host KH Mas Subadar; KH Abdullah Fakih of Tuban; Chotib Umar of Jember; KH Idris Hamid of Pasuruan; KH Lutfi Abdul Hadi of Malang; and KH Soleh Hasyim of Sidoarjo. T.I010/C/h-cvl/C/S012) 2.12:38/2:26/ (T.D/H-CVL/C/S012) 04-06-2004 15:

GetANT 1.20 -- JUN 4, 2004 16:00:59

View JSON | Print