Indonesian Political, Business & Finance News

JAMBI : Eksploitasi besar-besaran hutan-hutan di Provinsi Jambi

JAMBI : Eksploitasi besar-besaran hutan-hutan di Provinsi Jambi hingga hari ini telah menyebabkan punahnya berbagai spesies anggrek alami yang tumbuh di sana. Sejauh ini, belum ada perhatian mendalam dari pemerintah untuk melestarikannya.

Menurut Kepala Laboratorium Kultur Jaringan dan Pimpinan Taman Anggrek Sri Sudewi Jambi, Meiti Sp, diperkirakan spesies anggrek di Jambi berjumlah 500-an jenis sebelum dekade 1970-an. Tapi hingga saat ini baru bisa terkumpul sebanyak 80 jenis saja.

"Kita tidak dapat berbuat banyak untuk menyelamatkannya. Persoalannya terletak dari ada atau tidaknya hutan sebagai habitat asli spesies itu. Dengan kondisi hutan saat ini, bisa dipastikan spesies yang belum bisa ditemukan akan punah sebelum sempat di biakkan kembali," katanya kepada The Jakarta Post di ruang kerjanya,(18/6).

Menurutnya, hampir 70 hingga 80 persen spesies langka itu terdapat di hutan dataran tinggi seperti kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Semenatara sisanya terdapat di hutan lebak seperti Taman Nasional Berbak (TNB) dan hutan dataran rendah di wilayah Kabupaten Muarojambi. Umumnya, setiap spesies hanya disinari matahari sebanyak 35 hingga 40 persen saja.

Spesies yang banyak ditemukan di TNKS adalah bulbophyllum. Beberapa diantaranya adalah bulbophyllum biflorum, bulbophyllum lepidum, bulbophyllum odoratum, bulbophyllum lobii, dan bulbophyllum medusae. Ada juga jenis coelogyne aspareta dan coelogyne speciosa. Termasuk pula acriopsis javanica.

Umumnya spesies ini hidup pada ketinggian 400 meter hingga diatas 1.100 meter dari permukan laut (dpl). Beberapa diantaranya berbunga sepanjang tahun dengan lama mekar bunga berkisar satu hingga 10 hari. Sedangkan yang lainnya berbunga dua hingga empat kali per tahun dengan lama mekar bunga berkisar antara tujuh hingg 10 hari lamanya.

Sedangkan untuk di hutan lebak, spesies yang ada biasanya bromheadeea finlaysoniana, coelogyne incrassata, coelogyne rochussenii, cymbidium artropurpureum, dan cymbidium finlaysonianum. Umumnya spesies ini hidup di ketinggian 30 hingga 50 meter dpl. Rata-rata berbunga dua kali satu tahun dengan lama mekar bunga satu minggu. Tapi ada juga yang berbunga sepanjang tahun dengan lama mekar bunga satu minggu.

Adapun spesies yang hidup di hutan rendah di dibawah angka 30 meter dpl diantaranya jenis dendrobium mutabile, grammatophylium speciosum, dan schoenorchis yuncifolia. Biasanya spesies ini berbunga sepanjang tahun dengan lama mekar bunga berkisar antara dua hingga lima hari.

Anggrek Primadona Anggrek jenis grammatophylium speciosum yang biasa disebut penduduk dengan nama anggrek harimau, adalah primadona dari seluruh anggrek. Sebab tumbuhan epypit yang biasa hidup di pohon- pohon rindang ini berbunga hanya satu kali dalam setahun. Lama mekar bunga bisa bertahan hingga tiga bulan. Spesies ini pertama ditemukan di daerah Sungai Gelam Kabupaten Muarojambi tahun 1979. Setiap rumpunnya terdiri dari dua hingga tiga tangkai. Setiap tangkai dengan ketinggian mencapai 2 meter itu memiliki 50 hingga 75 kuntum bunga.

Selama ini, katanya, pihaknya berkerja sama dengan Lembaga Biologi Nasional (LBN) Bogor. Lembaga inilah yang mengidentifikasi dan memberi nama bagi spesies-spesies yang ditemukan. Selain itu, jugga melakukan eksplorasi bersama. Sayangnya, pada tahun ini eksplorasi tidak dapat dilakukan. Sebab biaya untuk satu kali eksplorasi ke Taman Nasional selam tujuh hingga 10 hari itu bisa memakan biaya di atas angka Rp 10 juta. Itupun dengan resiko pulang tanpa hasil.

Tapi setidaknya, hingga saat ini pihaknya telah berupaya untuk terus membiakkan spesies yang ada dengan cara sistem kultur jaringan. Setiap spesies yang ditemukan akan dibiakkan di dalam botol kedap udara yang streril (invitro). Pembiakkan aklimatisasi (penyesuaian hidup seperti habitat semula) menggunakan media agar-agar dan campuran beberapa bahan kimia diantaranya hormon kinetia. Setelah tumbuh menjadi bibit, lalu dipindahkan ke media sabut, arang atau pakis. Proses pembiakan berlangsung hingga dua tahun lamanya.

"Sejauh ini, spesies langka yang telah berhasil dibiakkan belum bisa dikomersilkan, meskipun harganya bisa mencapai Rp 1 juta per batang. Sebab, ada kekhawatiran, jika dijual, ada pihak-pihak yang akan memanfaatkannya untuk keuntungan sendiri. Sedangkan kami, ingin melestarikannya," ungkapnya. ***

View JSON | Print