BOGOR (JP) : Drainase di kota Bogor tidak berfungsi
BOGOR (JP) : Drainase di kota Bogor tidak berfungsi karena saluran-saluran air dipenuhi oleh lumpur dan sampah, akibatnya beberapa jalan-jalan strategis dan perumahan yang ada di daerah itu, setiap musim hujan selalu tergenang air. Sementara Pemda kota Bogor belum mampu melakukan pengerukan maupun pembangunan saluran baru karena tidak punya dana.
Radjab Tampubolon dari LSM Lingkungan "Galur" mengatakan, sistem drainase di kota Bogor ini tidak nyambung akibatnya setiap kali musim hujan, sebagian jalan-jalan strategis dan beberapa lokasi perumahan di kota Bogor tergenang air, seperti Jl. Suryakencana, sekitar Jl. Nyi Raja Permas (Stasiun Bogor) hingga Jl. Dewi Sartika, perumahan Cimanggu, Budi Agung drainasenya tidak nyambung.
Menurutnya, drainase ada dua macam yaitu drainase pemukiman dan drainase jalan, drainase ini tidak berfungsi karena dipenuhi oleh sampah dan lumpur." Kalau kita tanya ke Dinas PU Bina Marga, tentang timbunan sampah di saluran-saluran air, mereka selalu bilang butuh biaya miliaran untuk membersihkan sampah-sampah itu."
Drainase di pemukiman misalnya, tidak nyambung ke saluran jalan, dan saluran air di jalan juga tidak nyambung ke sungai. Hal yang sama juga terjadi di stasiun kereta api Bogor yang sering tergenang air, sebenarnya saluran itu terletak di bawah trotoar (tepat depan PLN) dan kini saluran tersebut sudah dipenuhi oleh sampah dan lumpur. Padahal waktu jaman Belanda, telah dibangun saluran air yang cukup besar mulai dari Kebun Raya hingga ke LP Paledang (drainase primer) yang langsung tembus ke Sungai Cipakancilan (Jembatan Merah). Namun sekarang saluran itu sudah tidak berfungsi.
"Selain kapasitas drainase tidak jalan, situ-situ kita sudah banyak yang tertutup karena maraknya pelebaran/perluasan wilayah, situ yang kita miliki hanya ada beberapa seperti Situ Gede di Bogor Barat, bahkan salah satu situ yang berada di daerah Tanah Sareal kondisinya juga sudah terjepit oleh pemukiman."tuturnya.
70 persen lahan kita berada di dataran tinggi dengan dua sungai besar Ciliwung dan Cisadane, kalau kita mampu jadikan drainase sebagai sistem pengairan atau pengeringan lahan, maka di wilayah kota Bogor ini tidak akan terjadi genangan air, karena Bogor ini berada di atas bukit sehingga mudah untuk menyalurkan air. Jadi intinya drainase tidak berfungsi karena dipenuhi lumpur/ sampah, dan pemerintah tidak punya dana untuk lakukan perbaikan/pengerukan.
Padahal untuk mengatasi terjadinya banjir, genangan air dan longsor, perlu dilakukan pengerukan pada saluran-saluran air yang tidak berfungsi, membangun saluran baru, membangun sumur resapan, sebab sumur resapan yang ada sudah tidak berfungsi, mengeruk situ-situ yang ada, membuat talud penahan longsor," Saya sudah mengajukan proposal ke Dinas PU Bina Marga untuk bekerjasama melakukan perbaikan, setelah saya hitung-hitung kita membutuhkan dana perbaikan sekitar Rp. 20 miliar"
Selain itu, saluran irigasi dan drainase juga tidak nyambung, kalau irigasi fungsinya untuk mengairi/mengisi air, sedangkan drainase adalah aliran untuk mengeringkan, "Kita maklumi kota Bogor tengah melakukan pelebaran/perluasan, banyak daerah yang terdiri dari sawah-sawah. Daerah yang dulunya merupakan lahan persawahan kemudian dijadikan perkotaan padahal dulunya itu adalah saluran irigasi, tapi malah dijadikan sebagai drainase, itu juga yang menimbulkan masalah.
Ketika disinggung tentang kekhawatiran masyarakat Bogor tentang tanah longsor yang selalu terjadi setiap kali musim hujan, Rodjab mengatakan, sesungguhnya curah hujan yang turun di Bogor itu tetap normal rata-rata 2000-4000 mili meter per tahun, banjir danlongsor bukan karena curah hujan yang tinggi, tapi karena kapasitas asimilatif lingkungan sudah jauh menurun. Artinya kapasitas lingkungan untuk menampung curah hujan sudah jauh menurun, penyebabnya penggunaan lahan untuk keperluan industri, pemukiman sarana trasportasi sudah jauh lebih besar daripada ruang terbuka.Padahal ruang terbuka sangat penting untuk menampung curah hujan. Wilayah Bogor ini berbukit-bukit dan bergelombang, tapi kenapa terjadi banjir dan tanah longsor, itu karena daya tampung dan kapasitas lingkungan. Bajir dari hulu itulah yang menyebabkan terjadinya longsor di sepanjang aliran sungai. Padahal daerah Bogor ini sangat bagus karena dibangun diatas bukit, berbeda dengan Bandung yang bentuknya seperti kuali terbuka.
Kalau kapasitas tampung kita di DAS Ciliwung dan DAS Cisadane bisa ditingkatkan tidak akan terjadi banjir, tapi karena daya tampung kita yang sangat menurun sejak dari hulu (Puncak) hingga ke bawah sini, sementara kegiatan penghijauan tidak menjamin akan mengurangi terjadinya longsor. "Bagi saya yang paling penting konsep tara ruang harus konsisten, jadi kalau daerah pemukiman jangan dibikin untuk industri, kalau daerah tangkapan hujan (Puncak) tidak boleh ada bangunan, tapi kenyataannya sekarang sudah kacau, dan yang membuat kacau itu adalah tata ruangnya yang tidak konsisten," jelas Radjab
Kepala Dinas PU Bina Marga Kota Bogor, Kiki Saritaon mengakui bahwa drainase di wilayah tersebut memang banyak yang tidak berfungsi, untuk itu pihaknya akan melakukan pengerukan pada drainase yang tertimbun oleh sampah maupun lumpur, "Memang benar drainase di sepanjang jalan Dewi Sartika tida berfungsi sehingga wilayah itu selalu tergenang air, demikian pula di Jl. Nyi Raja Permas di sekitar Stasiun kereta api Bogor selalu digenangi air, untuk mengatasi hal itu kita sudah mengajukan untuk melakukan perbaikan dan anggarannya kini tengah diproses, anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp. 200 juta," tutur Kiki.(JP) Marilin Depok Kepala Dinas Pekerjaan Umum Depok, Drs. Yayan Arianto Msi. menyatakan bahwa depok telah mulai melakukan antisipasi kemungkinan banjir yang akan ditimbulkan oleh musim penghujan di pertengahan November nanti. Dinas Pekerjaan umum telah menyiagakan sebuah satuan tugas khusus banjir dan 60 penjaga pintu air selama 24 jam di 57 titik rawan banjir. mereka telah dilengkapi dengan alat komunikasi berupa handy talky dan @sebuah handphone. Selain itu juga telah dibuka sebuah hotline khusus yang berguna untuk menampung keluhan dan laporan masyarakat yang terkait dengan persoalan banjir dan penyebabnya. "Mudah-mudahan dengan cara ini, kami akan dapat memantau kemaungkinan bahaya banjir dan cepat bertindak." Jelas Yayan. Di Depok sendiri, banjir biasanya melanda wilayah pemukiman dan ruas jalan yangs emrawut seperti Jl.Margonda Raya, jl. Dewi Sartika,Jalan di pintu komplek Taman Duta Cisalak termasuk diwilayah RW 06 Kelurahan Depok Jaya dan Rw 13 Kapung Lio Kelurahan Depok yang biasa terkena imbas dari luapan air dari Situ Rawa Besar.
Menurut Kepala DPU Yayan Arianto Msi, problem banjir yang terjadi di wilayah Depok sebetulnya disebabkan ketidakdisiplinan masyarakat dalam membuag sampah. Sampah banyak berserakan dan menumpuk di saluran air, sehingga saat hujan jadinya air akan langsung mengenang. Untuk itu, Dinas PU akan segera melakukan pengerukan di beberapa sungai di Depok yang menjadi dangkal akibat timbunan sampah. "Baru-baru ini kami telah melakukan pengerukan di Kali Laya, Kecamatan Sukmajaya. Ada sekitar 6 truk sampah yang berhasil kita angkat," tuturnya sambil menambhakan bahwa sampah yang diketemukan menjadi penyebab tersumbatnya saluran air ada yang berupa sampah berat atau sejenis sampah sisa bangunan, baik batu bata atau batako, kayu, pohon yang tumbang termasuk kasur bekas yang merupakan jenis sampah yang tenggelam dan tidak mudah terbawa arus air.
Namun, Yayan juga menjelaskan bahwa beberapa titik banjir diakibatkan karena datar permukaan tanah lebih rendah dari pada saluran air.
Dari keseluruhan titik banjir yang ada di Kota Depok sekitar 70% merupakan daerah pemukiman.
Beberapa titik rawan banjir di Depok adalah saluran air Cakrabuana, Pasar Tugu, Saluran Cabang Timur, Saluran Situ Rawa Besar di Jl.Arief Rahman Hakim, Saluran air Situ Beji Pladen sampai Jln.Dewi Sartika. Sementara kawasan Perum Bukit Cengkeh, Pondok Duta, BSI dan Jln. Margonda Raya sudah mulai dilakukan pembenahan.
Tony (54) salah satu warga Kampung Lio menjelaskan bahwa rumahnya setiap tahun akan selalu kebanjiran akibat luberan air dari situ Rawa Besar. " Lha gimana nggak banjir, wong sampah setinggi gunung mengelilingi rumah saya, ntar kalau banjir datang,sampah itu menumpuk di saluran air yang merupakan saluran utama pembuangan air dari situ Rawa Besar",paparnya. Saat banjir besar tahun 2001 tercatat hampir 60 rumah di kawasan Perumnas di Rt 07,05,04 RW VI Kelurahan Depok Jaya, terkena banjir setinggi lutut. Selain itu hampir satu Rw yakni RW 13 di Kampung Lio yangterletak disisi Timur Situ Rawa Besar juga terendam. Selian air hijau kebiru-biruan, air hanya menggenang hingga setingga 20 cm didalam rumah rata -rata baru satu minggu surut dengan catatan tidak terjadi turun hujan terus menerus.
Berdasarkan catatan dari Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2003 sedikitnya ada empat proyek yang dikerjakan Dinas PU dalam rangka penanggulangan banjir di Kota Depok, yaitu penataan Kali Baru, Kecamatan Cimanggis sebesar Rp 112 juta, rehabilitasi Kali Laya, Kecamatan Sukmajaya Rp 80,95 juta, penurapan tebing Saluran Cabang Tengah Hilir Jemblongan Tanah Baru, Kecamatan Beji Rp 425,36 juta dan pembuatan crossing limbah setu Pancoran Mas, Kecamatan Pancoran Mas Rp 40 juta.